Bayangan berjalan lebih dulu
daripada langkahku,
seolah masa depan mencuri
kesempatan untuk menjadi kini.
Ia merayap di atas tanah yang retak, melengkung, memanjang, dan bergetar
seperti memahami sesuatu yang tak
pernah berani diucapkan langit.
Kadang ia menembus kabut
seakan membawa pesan yang terlambat
sampai padaku.
Kadang ia terbelah menjadi dua, lalu tiga,
seperti cermin-cermin kusam
yang memperlihatkan kemungkinan
diriku yang tak kupilih.
Dan di saat-saat tertentu,
aku merasa ia memandangku kembali,
tanpa mata, tanpa wajah
namun dengan kesadaran yang tak
seharusnya ia miliki.
Bayangan itu bergerak tanpa
menunggu langkahku,
seakan waktu telah membelah
jalannya sendiri.
Seolah ia tahu arah yang bahkan aku ragukan untuk ditapaki.
Dalam hembusan angin yang menggigilkan tulang,
aku mendengar gema langkah yang
bukan milikku,
gema masa depan yang berdesakan ingin menjadi masa lalu
sebelum sempat kusentuh sebagai
masa kini.
Semakin jauh ia melangkah,
semakin kurasakan jarak yang tak
bisa dijembatani.
Mungkin, pikirku, yang mendahuluiku itu
bukan sekadar gelap yang tercetak
oleh cahaya,
melainkan potongan dari diriku yang pernah kubuang,
namun kini kembali menuntut haknya.
Dan ketika akhirnya aku
mengikutinya,
aku sadar satu hal yang menyesakkan:
bahwa bayangan itu bukan lagi milikku
melainkan aku yang sedang mengejar versi diriku
yang telah lama berjalan sendirian,
meninggalkan ragaku di belakang,
seperti jiwa yang tahu arah pulang lebih cepat
daripada orang yang memilikinya.

