Minggu, 30 November 2025

Langkah yang Tertinggal di Belakang Bayangan




Bayangan berjalan lebih dulu daripada langkahku,

seolah masa depan mencuri kesempatan untuk menjadi kini.
Ia merayap di atas tanah yang retak, melengkung, memanjang, dan bergetar

seperti memahami sesuatu yang tak pernah berani diucapkan langit.

 

Kadang ia menembus kabut

seakan membawa pesan yang terlambat sampai padaku.
Kadang ia terbelah menjadi dua, lalu tiga,

seperti cermin-cermin kusam

yang memperlihatkan kemungkinan diriku yang tak kupilih.
Dan di saat-saat tertentu,

aku merasa ia memandangku kembali, tanpa mata, tanpa wajah

namun dengan kesadaran yang tak seharusnya ia miliki.

 

Bayangan itu bergerak tanpa menunggu langkahku,

seakan waktu telah membelah jalannya sendiri.
Seolah ia tahu arah yang bahkan aku ragukan untuk ditapaki.
Dalam hembusan angin yang menggigilkan tulang,

aku mendengar gema langkah yang bukan milikku,
gema masa depan yang berdesakan ingin menjadi masa lalu

sebelum sempat kusentuh sebagai masa kini.

 

Semakin jauh ia melangkah,

semakin kurasakan jarak yang tak bisa dijembatani.
Mungkin, pikirku, yang mendahuluiku itu

bukan sekadar gelap yang tercetak oleh cahaya,
melainkan potongan dari diriku yang pernah kubuang,

namun kini kembali menuntut haknya.

 

Dan ketika akhirnya aku mengikutinya,

aku sadar satu hal yang menyesakkan:
bahwa bayangan itu bukan lagi milikku
melainkan aku yang sedang mengejar versi diriku

yang telah lama berjalan sendirian,
meninggalkan ragaku di belakang,
seperti jiwa yang tahu arah pulang lebih cepat

daripada orang yang memilikinya.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar